Minggu, 02 November 2008

Obrolan bersama Kambing Jantan




Siapa yang tidak mengenal Raditya Dika? Seorang penulis muda berbakat yang berhasil membius para pembaca buku-bukunya dengan cerita hidupnya yang ditulis dengan gaya komedi yang ringan, menghibur dan juga cerdas. Sosok Radit dalam buku-bukunya cenderung digambarkan dengan pribadi yang konyol, bahkan cenderung autis, tapi kali ini RagazzOnline berhasil mengulik sisi lain dari seorang Raditya Dika, mengungkap cerita tentang kehidupannya khusus untuk kamu!

Apa kabar Dit? Sekarang lagi sibuk apa?
Baik-baik aja, nyiapin film Kambing Jantan. Perhatian gue sekarang fokus ke film Kambing Jantan, sama sambil nulis buku baru juga

Kita tahu Kambing Jantan adalah karya fenomenal yang membuat nama lo tiba-tiba melejit. Buat lo sendiri, arti Kambing Jantan itu apa sih?
Kalo gue rasa itu lebih ke arah penyadaran. Waktu itu gue kuliah di Australia dan gue gak tau gue punya kesukaan sama menulis, itu pertama. Tapi setelah gue fikir-fikir, gue punya kesukaan untuk maintain blog gue, gue suka mendapat respon orang tertawa. Dan kadang-kadang saat kita menjalankan itu menjadi buku, gue baru sadar kalo gue suka nulis, itu pertama. Dan gue juga bisa ngulik daya komedi gue untuk jadi sesuatu yang beda, yang bisa gue komersialkan. Dan mungkin itu kelebihan gue. Jadi dari situ gue sadar bahwa Kambing Jantan adalah sebuah penyadaran. Nah dari situ baru gue mencoba untuk mendevelop gaya komedi gue terus merembet ke hal-hal lain seperti sekarang.

Setuju gak kalo Kambing Jantan disebut sebagai langkah awal lo?
Langkah awal gue mungkin lebih ke blog. Kambing jantan sebagai blog, ya, bukan Kambing Jantan sebagai buku. Pertama kali gue ngeblog waktu itu, pasti lah tiap orang ingin tulisannya dibaca, nah dari situ gue belajar gimana cara bikin tulisan gue dibaca. Misalnya kita bikin paragraf pembuka yang baik, trus setelah itu gue belajar bikin paragraf selanjutnya yang tetap bisa dibaca orang. Jadi dengan sendirinya gue belajar elemen-elemen penulisan pop. Jadi langkah awal gue ya disitu, gimana gue coba cari-carik trik untuk memantain pembaca.

Dari buku-buku yang sudah lo tulis, mana yang proses penulisannya paling ribet?
Yang paling ribet itu buku kedua, karena itu second book syndrome buat gue. Saat buku pertama keluar dan langsung best seller jujur gue juga kaget, gue kagok, nah saat menulis buku kedua pertama formatnya berubah, jadi format cerpen, bukan blog lagi. Jadi pas gue menulis sebenarnya ada dilematis dalam diri gue, ini mau gue lanjutin atau engga, kalo pun gue keluarin nanti kalo dibandingkan jadinya seperti apa? Second book syndrome banget buat gue. Jadi akhirnya buku kedua (terbit) sebenarnya gue maksa, hasil jadinya 99 halaman tapi spasinya 1,5. Setelah lewat itu akhirnya baru gue bisa santai.

Pas buku pertama prosesnya ribet gak?
Buku pertama justru karena gue sangat santai, gue tidak berfikir akan ada orang yang mau beli, itu pertama. Dan waktu itu blog juga belum terlalu terkenal, bahkan penerbit gue pun pesimis, senior editornya sendiri gak yakin bakalan laku. Itu pun terbitnya ditunda, 5-6 bulan saking nunggu-nunggu dulu, nerbitin buku-buku lain dulu. Jadi ekspekstasi gue sangat rendah. Nah ketika orang beli, orang suka, orang baca, dan jadi best seller ya itu kagok aja buat gue, kaget, ooh ternyata orang suka sama buku gue.

Dari cerita-cerita di buku lo, kita tau kalo hidup lo warna-warni dan kocak banget. Sebenarnya hidup Raditya Dika yang sebenarnya kayak apa sih?
Kalo gue bilang comedy is a matter of perfection. Jadi apapun yang lo lakukan, itu bisa lo ubah secara komedi. Misalnya hal-hal yang bersifat observasional aja, misalnya kemarin gue nonton iklan, dan kenapa sih cewek di iklan shampo kalo make shampo bahagia banget? Perasaan gue kalo shampoan biasa aja, gak sebahagia itu. Elemen-elemen komedik itu yang sebenarnya harus digali. Bukan masalah hidup gue lucu atau tidak, tapi sebenarnya gimana kita bisa keep in mind kalo misalnya ini dibuat momen komedi buat gue. Kayak misalnya semua orang punya keluarga yang difungsional, itu pasti. Nyokap lo mungkin punya kebiasaan yang buat elo biasa tapi ternyata bisa bikin orang lain tertawa. Kayak adek gue, Edgar, mungkin orang-orang lain juga punya adek yang seliar itu tapi ga pernah berfikir kalo itu diceritain ke orang bakalan lucu.

Kayak pertama kali gue nulis diary, kelas 4 SD gue nembak cewek dan saat itu gue dengan sepenuh hati gue bilang ‘aku suka sama kamu, kamu mau gak jadi pacarku?’ dan cewek itu jawab ‘najis lo.’ Nah waktu itu adalah momen paling menyedihkan buat gue karena gue baru aja dinajisin sama cewek yang gue taksir udah lama. Tapi begitu gue baca lagi diary gue itu dan gue nemuin kalimat itu gue tertawa, jadi the matter of persepsi aja, gimana sesuatu yg lo anggap tragis, jelek, lo punya adek rese, punya nyokap kayak gini, tapi bisa lo ubah persepsinya jadi lucu. Sebenarnya tekhniknya itu doang, dan orang banyak gak nyadar tentang itu.

Kapan dan biasanya lo punya ritual khusus gak untuk menulis?
Kalo gue sih lebih ke jam sebelas sampai jam satu. Ritual gue kalo dulu, gue lebih suka ngumpulin mood dengan baca-baca buku komedi komedi, nonton acara komedi biar mood ngelucu gue bisa keluar. Karena aslinya gue, sebenarnya Kambing Jantan 600 halaman dan yang diterbitin 200, 400 halaman lainnya adalah cerita gue yang serius, cerita gue yang biasa-biasa aja, tapi begitu penerbit ngeliat dia milih 200 yang paling lucu. Jadi persepsi yang timbul di orang-orang selama ini adalah si Radit Kambing Jantan adalah seperti buku ini. Padahal aslinya gue kayak gini, gue yang serius-serius aja, maksudnya ketika lo ketemu gue di kampus, lo ngobrol sama gue, gue santai banget, gini-gini aja, gak cengengesan keluar-keluar liur gitu. Jadi ritual gue adalah mencoba untuk ngebangkitin mood ngelucu gue karena mood ngelucu itu cuma ada 30-40% dalam personality gue, itu yang penting untuk gue.

Dulu waktu lo mulai jadi blogger, apa yang mutusin lo untuk bikin blog? Apa memang sengaja bikin blog untuk mengeksplor menulis cerita lucu?
Hal yang pertama, mungkin justru pada ketidaksengajaan. Pertama gue nulis di blog itu adalah cerita tentang gebetan gue, pas SMA, semua tentang dia, namanya Sista, jadi isinya tentang Sista semua. Begitu gue nembak dia, gue bilang gue suka sama lo, dia bilang dia tau gue suka sama dia, gue tanya darimana lo tau gue suka sama lo, dia jawab kan gue baca blog lo. Itu goblok setengah mampus. Dan sejak itu gue mutusin untuk gak nulis kayak gitu-gitu lagi. Dan gue nulis tentang keluarga gue, entry pertama yang gue tulis adalah tentang anak ayam adek gue yang ususnya mejret dan coba gue masukin pake lidi. Waktu itu gue gak bermaksud untuk melucu dan ternyata orang-orang komennya bilang gue lucu. Dari situlah gue mulai gimana caranya nulis komedi yang baik dan benar. Jadi sebenarnya menulis komedi itu bermula dari ketidaksengajaan.

Setelah buku-buku lo laris, banyak blog yang ikut dibukukan. Pendapat lo akan hal ini? Merasa tersaingi gak?
Kalo gue ngerasa, ketika ada orang yang mengikuti apa yang sudah lo pernah lo lakukan sebelumnya, gue gak tau mereka ngikutin gue atau ngikutin orang luar gue gak tau, tapi kalo misalnya memang itu blog dibukukan setelah dia membaca Kambing Jantan dan dia tau format seperti ini bisa diterbitkan di Indonesia, gue justru bersyukur. Kenapa? Pertama, berarti si genre buku blog ini, di Amerika ini disebut blook, nah blook ini secara tidak langsung mendapat pengakuan karena sudah mulai banyak penulisnya, jadi sebagai sebuah genre ia kuat. Tapi, ketika orang ngikutin gaya menulis yang sama persis kayak gue, bagi gue tidak masalah karena the first always the best, buat gue tidak masalah sama sekali, justru rugi di dia karena dia tidak menggunakan kesempatan ini untuk menemukan orisinalitas dalam karyanya dia. Dan secara tidak langsung ini juga ngangkat gue sebagai orang yang pertama.

Selanjutnya apakah elo akan tetap berada di jalur ini? Atau mungkin mau coba menulis di genre lain? Kalo iya, lo mau buat cerita tentang apa?
Sebenarnya sebelum Kambing jantan keluar gue lebih banyak nulis essay-essay tentang kewanitaan, mungkin bukan kewanitaan karena kewanitaan identik dengan kevaginaan. Mungkin lebih ke arah patriotisme, pas zaman-zaman kuliah dulu gue suka nulis essay-essay filsafat. Gue suka Nietchze dan gue pernah bikin novel judulnya Logos, ceritanya tentang orang yang mencoba melampaui dirinya sebagai manusia karena ia kebanyakan baca (tulisan) Nietchze. Nah itu sebelum Kambing Jantan, buku itu yang pengen gue coba jadikan debut novel gue sebagai penulis sastra/penulis serius. Cuma ternyata pas gue mau kasih ke penerbit, itu sebelumnya gue bilang ke Mas Adhitya Mulya dan dia bilang coba kasih ke Gagas Media aja. Begitu gue mau ngasih ke Gagas gue jadi ngerasa gimana gitu dan gue jadi malah ngeprint blog gue dan itu yang gue kasih ke Gagas ternyata mereka suka dan ya udah jadinya ngeblook. Buku kedua gue rencananya mau ngasih novel Logos itu, tapi kok rasanya lebih enak nulis komedi? Dan buku ketiga sebelumnya gue juga mau lanjutin nawarin novel Logos, tapi sekali lagi kok kalo gue melihat orang-orang yang komen di blog gue dan dia bilang suka dengan buku-buku gue yang lucu, kenapa gue mau kehilangan itu? Kenapa gue gak coba lagi bikin lagi dengan format yang lebih bagus? Jadilah novel Logos gue itu gak jadi-jadi.

Dan ternyata gue lebih enjoy nulis komedi karena sebagai sebuah genre, komedi adalah genre yang sebenarnya memerlukan kecerdasan. Komedi itu seperti bermain puzzle. Jadi menurut gue, komedi itu sebenarnya adalah sebuah genre yang orang tidak tahu bahwa genre itu harus diseriusin dan begitu banyak layer didalamnya, dan bersyukur gue bisa ngerti komedi secara otodidak. Hal yang terjadi sekarang di Indonesia, buku-buku komedi yang ada adalah buat gue yang komedi malas. Ada sebuah buku yang diberi label komedi cinta dan isi didalamnya penuh dengan tebakan-tebakan dan deskripsi-deskripsi gak penting yang buat gue males. Dan itu menjadi sebuah tantangan buat gue, gimana caranya gue bisa menulis komedi yang cerdas. Oke lo bisa lucu, tapi lo harus punya struktur. Tapi sekarang ada kontranya, yaitu, justru kalo misalnya kita membuat komedi yang berfikir kita dengan sendirinya memberi limit pada karya kita. Misalnya ada anak SD atau SMP yang baca buku gue dan bisa aja mereka belum ngerti dengan apa yang gue tulis. Tapi justru itu yang bikin seru, dan gue pribadi memang senang ngulik-ngulik komedi.

Jadi lo akan tetap nulis komedi?
Ya. Karena gue ngerasa komedi itu sangat luas dan gue perlu develop lebih dalam lagi. Kalo buku kelima yang gue tulis ini, bercerita tentang patah hati, jadi isinya satu buku menceritakan satu cewek doang, kisah nyata gue juga, dan komedinya lebih dark, lebih ke komedi-komedi gelap gitu.

Lewat buku-buku lo kita bisa tau kehidupan keluarga lo. Gimana pendapat mereka tentang hal itu? Ada komplain gak dari mereka?
Kalo Edgar dia udah gak mau lagi ditulis sebagai adek yang sering disiksa secara verbal dalam buku-buku gue. Dan pas gue lagi nulis Babi Ngesot, gue bilang ke dia ‘Abang mau nulis lagi nih soal kamu, kamu mau gak?’ Dia teriak-teriak gak mau. Terus gue keluarin dompet gue. ‘Kalo Abang kasih sepuluh ribu mau gak?’ dan dia langsung bilang mau deh. Ya udah akhirnya gue ngabisin 30ribu buat Edgar supaya dia tetap ada di Babi Ngesot. Macam-macamlah, ada yang nyokap gue sekarang kalo misalnya lagi makan sekarang dan ada cerita lucu tentang dia, dia langsung diam dan bilang ke gue ‘jangan masukin buku loh, ingat Malin Kundang!’ dan makanya di Babi Ngesot cerita tentang nyokap gue gak ada. Kalo bokap gue, kayaknya dia belum pernah baca buku gue sih.

Perbedaan paling signifikan antara Raditya Dika yang dulu –sebelum menulis Kambing Jantan- dengan Radit yang sekarang adalah?
Kayaknya sih sama-sama aja. Yang sekarang mungkin gue lebih banyak ngerti, gimana cara membuat komposisi tulisan yang menarik. Pas Kambing Jantan dirilis itu gak diedit, dan gue merasa keren karena tulisan gue gak diedit dan itu best seller. Begitu Cinta Brontosaurus selesai gue tulis dan gue kasih ke editor gue dia bilang tulisan gue jelek. Gue tersinggung dan ego sebagai penulis muncul, gue bilang 'enggak tulisan gue bagus' dan dia bilang komedi gue gak bagus. Namanya Mbak Windy dan tiga bulan gue gak ngomong sama dia gara-gara itu. Dan akhirnya gue merasa mungkin dia ada benarnya dan gue baca ulang sampai akhirnya gue ngerti bahwa dia ada benarnya. Jadi perbedaannya palingan itu.

Cita-cita lo sebenarnya apa sih?
Cita-cita gue? Waktu kecil standartlah, yang mau jadi insinyur, astronot. Cita-cita gue waktu itu ingin kawin sama temen gue, namanya Amanda. Itu gue tulis di buku anak SD yang kayak gini D –Dika namanya, I-Ih keren banget, asli norak banget. Tapi yang pasti sekarang gue ingin merubah peta perbukuan kembali. Karena sekarang sudah banyak yang buku jadi blog, jadi gue merasa perlu ada sesuatu yang baru, dan gue sekarang mau bikin komik. Kemarin gue baca 5 chapter dari total 6 chapter yang ada, dan asli itu lucu banget, gue gak pernah sengakak itu. Bukan karena skripnya bagus tapi karena Dio sebagai seorang komikus bisa bikin karya yang kadar komedinya tinggi. Mudah-mudahan komik ini bisa diterima dan bisa kembali merubah peta perbukuan di Indonesia. Dan gue mau komik ini bisa bikin orang berfikiran bahwa komik Indonesia juga bagus-bagus

Ada goal lain yang mau lo capai?
Goal yang lain apa ya? Gue gak pengen kawin sih. Mungkin lulus kuliah ya, mudah-mudahan dalam waktu dekat ini juga.

Kalo pekerjaan lain yang ingin lo coba?
Dari dulu sampe sekarang gue selalu pengen jadi orang yang berkutat di bidang finance. Dulu gue kuliah di Australia juga ngambilnya finance. Tapi kayaknya sekarang industri kreatif lebih enak ya. Gue punya penerbit sendiri dan kalo misalnya gue ke kantor gue bisa pake kaos sementara orang-orang ke kantor pake kemeja, gue bisa datang santai, dan gue sangat menikmati hidup gue itu. Kayak gue bisa dapetin uang dari hal yang gue sukai, dari bidang yang gue suka, dan gue sangat menikmati hidup gue.

Dulu gak banyak anak muda yang bercita-cita menjadi penulis tapi sekarang banyak remaja yang memutuskan untuk berkarier sebagai penulis. Pendapat lo akan hal itu?
Itu bagus banget. Tapi yang paling penting, setelah gue pelajari, kenapa orang jaman dulu gue SMP gak banyak nulis, karena dulu industri perbukuan sangatlah bapuk. Bayangin, dulu kalo mau jadi penulis harus jadi penulis sastra, gak ada penulis populer kayak sekarang ini. Kalo udah kejual 3000 eksemplar aja dalam satu tahun itu udah alhamdulillah. 3000 eksemplar secara royalti itu 9 juta. Sedangkan sekarang buku-buku populer, mereka bisa menjual bukunya 3000 eksemplar dalam waktu sebulan, dan itu lumayan banget, apalagi untuk ukuran penulis yang masih SMP-SMA. Selain karena penghasilannya yang cukup besar, eksistensi sebagai penulis juga merupakan faktor yang membuat banyak anak muda mutusin untuk jadi penulis. Sekarang gini, siapa sih orang yang murni nulis cuma untuk curhat? Bikin cerita? Pasti mereka ingin buku mereka dibaca, diapresiasi, diperhatikan. Dan pasti mereka butuh pengakuan. Untuk itu, eksistensi sebagai penulis menjadi penting, apalagi untuk ukuran anak SMA yang paling-paling cuma punya label anak SMA doang, pasti ada kebangaan tersendiri dengan menyandang status penulis. Jadi faktor-faktor itulah yang buat gue menjadikan anak muda sekarang banyak yang menjadi penulis.

Gimana pendapat lo tentang novel-novel yang kayaknya asal jadi?
Menurut gue, filter itu harus ada di penerbit. Karena penerbit adalah orang pertama yang menerima naskah itu. Dan terus terang aja, gue punya penerbit dan tiap hari gue nerima naskah yang semuanya bapuk. Tugas sebagai penerbit adalah merubah yang gak bagus menjadi bagus. Tapi kebanyakan penerbit menerima naskah dan menerbitkannya karena misalnya cerita yang mereka terima sedang booming, tanpa menyaringnya lebih dulu, cuma mementingkan keuntungan dan gak perduli naskahnya itu bagus atau tidak

Menurut lo jadi penulis itu menjanjikan gak sih?
Kalo sekarang iya. Asal lo pintar, arti pintar disini adalah elo bisa bikin satu buku yang elo yakini terus, elo promosi secara kuat, seperti gue, dan elo yakin bakalan laku. Atau elo seperti teman gue, dia bikin buku yang gampang dibuat, ecek-ecek, dan gak laku-laku amat tapi banyak. Contoh dia bikin buku SMS gaul. Dia bikin 22 buku SMS gaul dengan isi yang sebenarnya cuma diotak-atik. Jadi menjadi penulis memang menjanjikan, asal elo pintar.

Sekarang lo sedang berada di jalan menuju seorang aktor. Apakah bidang ini akan lo seriusin juga?
Engga. Gak banget lah. Ini satu hal, selama ini gue kalo nonton sinetron atau film, gue sering bilang misalnya kalo dia lagi nyatain cinta gue bilang aktingnya kayak lagi nahan berak. Ternyata pas lagi di depan kamera itu susah, emang susah banget Nyet. Dan Mas Rudi berkali-kali bilang ke gue dia udah ngingetin gue buat akting dengan bagus dan itu emang susah banget. Gue pun nyadar kalo gue memang gak akan menjadi serius jadi aktor, secara sadar diri gue tau untuk gak menjadi bintang film.

Misalnya ada PH yang nawarin untuk membuat reality show tentang hidup lo. Mau gak? Kalo mau formatnya seperti apa?
Mau-mau aja sih, taro aja di rumah gue, cuma gue gak yakin mereka bisa menemukan sesuatu yang menarik untuk difilmkan, kecuali adek-adek gue dan nyokap gue, kalo gue sendiri sih biasa-biasa aja. Konsepnya sendiri? Gak tau ya, mungkin lebih baik Edgar kali ya yang dibikinin reality show karena dia unik banget.

Buku-buku lo yang lain akan difilmkan juga gak seperti Kambing Jantan?
Sebelumnya gue mau ngasih tau Kambing Jantan itu bukan buku Kambing Jantan yang difilmkan. Tapi Kambing Jantan The Movie itu mengambil tema inti dari novel Kambing Jantan dan kita membuat cerita baru. Jadi ceritanya tentang orang yang pengen tau hidupnya mau jadi apa, kuliah di Australi, yaitu gue, dan dia suka nulis. Kedua juga menceritakan long distance relationship gue sama si Kebo. Bukan dengan potongan-potongan cerita di Kambing Jantan yang difilmkan. Buku-buku yang lainnya? Belum tau sih.

Pengalaman berkesan lo selama menjadi penulis?
Ada dua. Yang pertama, waktu gue talkshow di Jogja, ada orang pake baju koko, yang menyuruh gue pulang, tobat dan sholat tahajud kepada Allah. Begitu gue tanya ke dia udah baca buku saya belum mas? Dia bilang belum. Itu pengalaman gobloknya sih ya. Yang menyentuhnya ketika ada orang yang kirim e-mail ke gue dan dia bilang dia disiksa di rumah, dia mau bunuh diri tapi habis baca buku gue dia gak jadi bunuh diri, dan besoknya dia mati ketabrak angkot –berhenti sejenak, ya enggaklah bohong.

Pengalaman gak enak yang lo dapat dengan status lo sebagai penulis?
Gue jadi susah dapet cewek! Karena setiap cewek yang kenal gue dan dia tau gue penulis buku Kambing Jantan dia akan bilang lo pernah muka lo pernah dirusak pake kolor bokap, jadi itu udah merusak harkat martabat gue secara tidak langsung. Dan yang kedua gue susah dapet approval dari orangtua cewek manapun karena gue membuat buku yang berjudul Babi Ngesot dan disitu ada kata-kata pulang tak berkutang.

Kalo dilahirin lagi mau jadi apa?
Pengen jadi gue lagi dan memperbaiki semua kesalahan-kesalahan gue.

Arti kebahagiaan buat lo?
Kalo rasa gue sih happiness is a thing of mind. Balik lagi ke masalah persepsi, lo mau seneng atau engga, udah itu aja pertanyaannya. Apapun yang terjadi di sekeliling lo, yang bisa membuatnya jadi bahagia atau tidak adalah elo sendiri.

Arti keluarga buat lo?
Gue sangat self centered, sejujurnya. Jadi gue gak perdulian. Gue jarang ketemu sama nyokap gue, bokap gue, adek-adek gue, dan gue gak perduli sama sekali. Gue pulang jam satu, gue bangun jam delapan dan adek-adek gue udah berangkat sekolah, itu bukan hal besar buat gue, gak terlalu gue fikirin.

3 kata yang menggambarkan Raditya Dika adalah?
Bipolar. Ada satu sisi gue yang meledak-ledak dan satu sisi yang lain serius. Self centered. Ambisius

5 hal yang mau lo lakuin sebelum mati?
Dari dulu gue suka Tara Reid dan gue pengen ciuman pake lidah sama dia. Gue pengen bikin buku yang semua orang suka. Gue pengen film gue kelar. Gue pengen punya sesuatu yang bisa orang lain ingat terus.

Label: